OVERVIEW MAKRO PADA
SEKTOR PERBANKAN: TINJAUAN ASPEK KEPERILAKUAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Heru Kurnianto Tjahjono
ABSTRAK:Pembahasan
artikel ini dimulai dari gambaran makro ekonomi Indonesia yang berkaitan
dengan sektor perbankan. Tetapi kegagalan yang telah di lakukan untuk krisis
keuangan menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan appoarch
lain, yang merupakan perilaku dalam suatu organisasi. Upaya untuk membawa good
corporate governance menjadi kesadaran baru bahwa ekonomi makro appoarch perlu
diikuti oleh aspek perilaku. Penulis sebagai orang yang memiliki ilmu
pengetahuan peilaku mencoba untuk menguraikan kebijakan ekonomi makro di sektor
perbankan yang berhubungan dengan aspek perilakunya.
Keyword:Ekonomi makro, krisis, good
corporate governance, perbankan, perilaku.
Dalam perspektif organisasi,
upaya membangun nilai-nilai baru bagi pembenahan organisasi di masa datang
bukan persoalan instan seperti membalikkan telapak tangan. Hal tersebut
membutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk berubah, manajemen yang terpadu dan
nilai-nilai bersama yang harus dipegang oleh anggota organisasi (shared
values).
Perspektif organisasi
mengkaji secara lebih internal terhadap suasana makro ekonomi dan bisnis yang
melingkupi organisasi di mana organisasi harus dapat menyikapi kekuatan eksternal makro untuk tetap dapat
melakukan pilihan strategi (strategic choice) bagi pengembangan
organisasi seperti yang digagas oleh Child.
Kasus pada organisasi
perbankan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi makro tidak hanya pada
lingkup negara, namun lebih jauh lagi yaitu pada lingkup global. Berawal dari
krisis moneter yang melanda negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia
dan lainnya yang berimplikasi pada turbulensi nilai tukar. Selanjutnya ‘contagion
effect’ dari krisis tersebut juga menjadi krisis ekonomi yang melanda
Indonesia. Krisis tersebut hampir melanda banyak sektor ekonomi kita, namun
yang terparah adalah sektor perbankan. Hal tersebut tidak terlepas dari
fundamental pengelolaan perbankan di Indonesia yang selama ini dijalankan oleh
mayoritas perbankan di Indonesia sering mengabaikan prisnsip-prinsip ‘healthy
banking’. Tingginya kredit macet, pelanggaran, BMPK, tidak dipenuhinya
ketentuan reserve requirement (RR), Loan to Deposits Ratio (LDR),
kecukupan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan
persoalan-persoalan umum yang sering dijumpai dalam praktik perbankan di
Indonesia. Belum lagi persoalan lemahnya profesionalisme manajemen bank
tersebut dalam masalah pengelolaan termasuk pengelolaan yang tidak
memperhatikan ketentuan ‘prudential banking’. Namun demikian korban yang
muncul bukan hanya mereka yang dikelola tidak baik, termasuk pula bank-bank
yang dikelola baik sebagai akibat fenomena ‘domino effect’, yaitu
tertularnya ‘penyakit-penyakit dari bank bermasalah. Hal tersebut harus segara
ditanggulangi mengingat lembaga perbankan memegang peranan penting dalam
perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Terganggunya pelayanan dari jasa
perbankan ini pada kondisi tertentu akan menyebabkan keresahan pada skala makro
ekonomi seperti kepanikan masyarakat. Implikasinya juga pada penyediaan barang
dan jasa akibat terhambatnya aktivitas sektor riil. Dampak selanjutnya kondisi
tersebut adalah menurunnya kinerja ekspor sehingga menambah problema makro
ekonomi yang juga menjadi problema sosial berupa peningkatan jumlah
pengangguran karena sejumlah PHK pada banyak lembaga bisnis.
Dalam rangka membantu sistem
perbankan Indonesia keluar dari krisis, pemerintah menggulirkan program
restrukturisasi perbankan. Program tersebut pada dasarnya merupakan program
inti dari upaya pemulihan ekonomi.
Fenomena Institusi Perbankan Di
Indonesia
Pada tahun 1983 pemerintah Indonesia menetapkan serangkaian
kebijakan deregulasi di sektor perbankan dan keuangan yang diawali dengan paket
kebijakan Juni 1983 (pakjun 1983) disusul paket kebijakan Oktober 1988 (pakto
1988) berserta paket kebijakan lainnya yang merupakan rangkaian dari kebijakan
sebelumnya.
Inti dari berbagai paket kebijakan tersebut adalah upaya
pemerintah mengakhiri sekaligus merubah paradigma lama dari pengawasan ketat
oleh pemerintah terhadap sektor keuangan (financial repression) dan
memulai liberalisasi kegiatan usaha dan lembaga perbankan (financial liberalization).
Latar belakang liberalisasi yang
dilakukan oleh pemerintah adalah turunnya harga minyak bumi yang dikhawatirkan
menyebabkan defisit dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu sektor
perbankan didorong untuk tampil dengan efisien sehingga dapat berperan menggairahkan
iklim usaha dalam negeri.
Namun demikian perubahan yang tidak
dikuti dengan perubahan mindset dan komitmen untuk mewujudkan good
corporate governance pada sektor perbankan memicu lahirnya permasalahan
baru. Sektor perbankan justru mengalami kegagalan seiring dengan krisis moneter
1997 yang mendorong krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Sampai
saat ini LDR perbankan nasional hanya sekitar 40%, NPL masih di atas 10% dan
CAR masih di bawah 5%. Bahkan selama tiga tahun terakhir pertumbuhan LDR perbankan
tidak sampai 10% (sumber dikutip dari makalah Bambang Riyanto L.S.)
Secara konseptual, Erman Munzir (1996) menjelaskan
peranan perbankan di Indonesia sebagai berikut:
- Lembaga perantara dan lembaga kepercayaan masyarakat, karena menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat.
- Lembaga moneter, karena perbankan menciptakan uang dan menentukan suku bunga serta bertindak sebagai saluran atau sarana untuk pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dan perbankan.
- Lembaga penyelenggara sistem pembayaran, karena memberikan dan menciptakan jasa untuk pembayaran secara nasional dan internasional.
- Lembaga pendorong ekonomi nasional, karena berperan mendorong kegiatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi.
Sedangkan peranan bank sentral adalah mengendalikan
penawaran uang adalah sebagai berikut:
- Operasi pasar terbuka (open market operations) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemeruintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari masyarakat, basis moneter dan penawaran uang meningkat. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada masyarakat maka basis moneter dan penawaran uang menurun.
- Cadangan yang disyaratkan (reserve requirement) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposit cadangan minimum.
- Tingkat diskonto (discount rate) adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberi pinjaman kepada bank-bank.
Ketiga instrumen di atas digunakan oleh otoritas moneter
untuk menjaga kestabilan moneter dalam perekonomian suatu negara.
Dalam praktiknya jika sistem
perbankan kita mempunyai fundamental pengelolaan yang baik maka badai krisis
seharusnya tidak berlarut-larut. Di samping itu akan lebih banyak bank yang
tetap survive meskipun badai krisis menghantam. Hal tersebut tampak pada
Thailand dan Malaysia yang segera bangkit dari krisis. Bahkan lebih jauh lagi
sektor perbankan memiliki fundasi yang kuat bersama-sama dengan sektor riil
akan mampu membendung krisis atau paling tidak dapat segera bangkit dari krisis
seperti halnya beberapa negara tetangga.
Perilaku Resiko Dalam Perbankan
Sebagai lembaga perantara keuangan (financial
intermediation), perbankan berperan dalam menghimpun dana masyarakat
melalui berbagai jenis tabungan, deposito dan produk jasa lainnya yang kemudian
disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit kepada fihak yang membutuhkan
dana untuk memperlancar transaksi ekonomi. Sebagian besar dana yang disalurkan
oleh perbankan bukan berasal dari pemilik bank melainkan dari pihak lain seperti para
deposan. Oleh karena itu wajar dalam neraca perbankan ratio debt to equity
cukup tinggi yang mencerminkan jumlah utang (debt) lebih besar daripada
modal pemilik (equity). Dalam operasionalnya, resiko yang dihadapi oleh
bank cukup banyak, diantaranya adalah resiko yang disebabkan oleh tingkat bunga
(Saunders, 2000).
Dari aspek perilaku, ketika bank
memberi pinjaman jangka panjang biasanya akan menetapkan tingkat bunga kredit
dengan tingkat bunga tetap (flat rate) dan biasanya dengan tingkat bunga
yang rendah. Padahal dana yang digunakan untuk pemberian kredit berasal dari
simpanan nasabah yang berjangka pendek dengan tingkat bunga yang berfluktuasi
(Swandari, 2002). Hal tersebut menjadi salah satu pemicu penting krisis yang
melanda perbankan kita di mana non performing loan menambah permasalahan
manajemen dana perbankan. Pada saat krisis tingkat bunga simpanan atau deposit
pernah mencapai 60% pertahun. Implikasinya adalah macetnya fungsi perbankan
sebagai lembaga intermediasi sekaligus mendorong rendahnya kinerja pada sektor
riil. Dampak lainnya adalah negative spread yang berakibat pada
berkurangnya modal bank.
Esty dalam Swandari (2002)
menunjukkan bahwa pada S&L dengan bentuk organisasi yang berbeda (stock
vs. mutual) akan berbeda pula perilaku resikonya. Sebagian besar bank di
Indonesia berbentuk kepemilikan saham di mana nasabah juga tidak memiliki
insentif untuk memonitor perilaku manajer. Ketiadaan monitor tersebut mendorong
perilaku resiko manajer bank. Tingkat resiko yang tinggi (stock thrift) memiliki kemungkinan lebih besar
untuk bangkrut dibandingkan bank dengan tingkat resiko lebih rendah (mutual
thrift) (Asty dalam Swandari 2002).
Restrukturisasi Perbankan Sebagai Kebijakan Makro
Ekonomi
Di awal telah dijelaskan bahwa tidak semua bank di Indonesia
melakukan praktik pelanggaran di luar ketentuan ‘prudential banking’ dan
menjalankan aktivitasnya secara profesional. Di samping itu keberadaan
bank-bank tersebut sangat dibutuhkan bagi pemulihan ekonomi nasional. Oleh
karena itu maka pemerintah menggulirkan kebijakan restrukturisasi sebagai
kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat
melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk
melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan
demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian
dan perekonomian menuju recovery.
Program ini diawali dengan melakukan pembenahan sistem perbankan
Indonesia dari bank-bank yang bermasalah. Bank-bank yang dinilai masih
prospektif untuk diupayakan pemulihan kesehatannya (revitalisasi) dan
dikembangkan. Di bawah ini langkah-langkah penting yang ditempuh melalui skema
restrukturisasi perbankan:
1.
Merumuskan landasan hukum
berupa Undang-Undang Perbankan (UU No. 10/98) sebagai perangkat yang akan
menjamin legalitas upaya-upaya yang dilakukan melalui Restrukturisasi
Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan mengenai pemberian otoritas
penuh terhadap BI dalam aspek regulasi dan supervisi. Selain itu peningkatan ‘share’
kepemilikan asing juga dimungkinkan. Bank-bank nasional melalui ketentuan baru
tersebut juga diberikan ijin untuk beroperasi sebagai bank syariah (berdasarkan
konsep bagi hasil).
2.
Pengambilalihan aset-aset
bermasalah dari bank dan menyerahkannya pada institusi khusus yang dibentuk
untuk meningkatkan value dari asset tersebut, yaitu (Asset Management
Unit). Upaya ini ditujukan untuk mengentaskan bank-bank dari masalah
kualitas asset yang buruk karena NPL (Non Performing Liabilities)
bank-bank tersebut dikeluarkan dari neraca bank, sehingga bank-bank tersebut
tidak dihadapkan pada masalah kewajiban pembentukan cadangan.
3.
Melakukan Corporate
Restructuring. Sebaik apapun upaya pemulihan kesehatan perbankan namun jika
kondisi dunia usaha tidak ikut dibenahi, maka upaya tersebut akan menjadi
sia-sia belaka. Hubungan antara sektor riil (dunia usaha) dengan sektor
perbankan adalah ‘ibarat telur dan ayam’. Sektor riil yang tidak produktif
tidak dapat memanfaatkan lembaga bank sebagai intermediary institution.
Oleh karena itu penataan kembali rules of the games dalam dunia usaha
harus menjadi agenda penting program restrukturisasi perbankan.
4.
Implementasi program
rekapitalisasi sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
sisi liabilities neraca bank melalui penambahan modal pada bank-bank
bermasalah yang masih memiliki prospek cukup baik. Mengingat besarnya dukungan.
Mengingat besarnya dukungan finansial yang harus ditanggung pemerintah, program
ini hanya ditujukan pada bank-bank terpilih berdasarkan kriteria tertentu.
Untuk itu sebelumnya dilakukan due diligence guna menseleksi bank-bank
yang bisa diikut sertakan dalam program tersebut. Secara teoritis, sesudah
bank-bank tersebut ‘disuntikkan’ modal oleh pemerintah diharapkan bank-bank
akan terhindar dari insolvency karena rasio CAR-nya akan meningkat. Namun
demikian, program rekapitalisasi mensyaratkan penyetoran 20% fresh money
dari pemegang saham lama, sebab maksimum penyertaan pemerintah hanya 80%. Dalam
skenario tersebut dimungkinkan juga masuknya investor baru baik lokal maupun
asing untuk mengambilalih tugas pemegang saham lama jika tidak mampu menyetor
20%.
5.
Reformasi dalam hal supervisi
dan regulasi untuk memperbaik dan meningkatkan efisiensi dan keefektifan peran
dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial.
Dengan terjadinya seleksi alam melalui program restrukturisasi perbankan
tersebut nantinya jelas akan lebih sedikit bank-bank yang beroperasi. Di tinjau
dari aspek span of control, kondisi tersebut akan menguntungkan bank
sentral dalam melakukan pengawasan mengingat keterbatasan SDM yang dimiliki.
Dengan semakin sedikit jumlah bank yang harus diawasi oleh Bank Indonesia
diharapkan kualitas pengawasan akan meningkat dan muaranya adalah peningkatan
kualitas dan kinerja bank-bank nasional Indonesia.
Paradigma Baru Di Bidang Pengawasan: Antisipasi
Perilaku Bankir & Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance
Dalam upaya mendukung program restrukturisasi perbankan, terdapat
hal menarik terkait dengan pengawasan perbankan. Di awal telah disinggung bahwa
banyak pelanggaran yang dilakukan bankir terhadap ketentuan perbankan yang
telah ditetapkan. Hal tersebut tidak terlepas dari aspek perilaku para bankir.
Paling tidak dapat difahami bahwa masih banyak perilaku yang tidak baik
dilakukan oleh jajaran pimpinan bank.
Kondisi tersebut mendorong reformasi di bidang pengawasan yang
dinilai kurang efektif. Dengan reformasi di bidang pengawasan, peranan dan
fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial dapat
lebih diperbaiki. Hal tersebut sejalan dengan tuntutan era global yang
mengharuskan peningkatan kualitas pada berbagai aspek.
Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau
teori Y ke Teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawan selama ini
adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang positif aspek
perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan
bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya,
bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin
memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.
Pola pikir seperti di atas,
pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena
pada pengawas cenderung ‘longgar’ dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu
dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori
X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan
potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunya serangkaian sifat tidak baik
seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain.
Dengan asumsi demikian, setiap pengawas haru berhati-hati dan teliti dalam
melakukan tugas pengawasannya.
Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory
authority. Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan
penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya
pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan
memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks demikian,
paradigma tersebut perlu dirubah menjadi supervisory authority yang
menekankan pada tindakan langsung atau pengenaan sanksi atas terjadinya
pelanggaran sehingga diharapkan fungsi pengawasan akan lebih dapat dijalankan
dengan mempertimbangkan perilaku para bankir dewasa ini.
Dalam upaya perubahan budaya menuju good corporate
governance, hal utama yang penting
untuk ditekankan adalah
komitmen otoritas terhadap budaya
tersebut. Komitmen tersebut harus selalu disampaikan dan didukung oleh semua pihak dalam organisasi.
Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif
untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui
pendidikan, pengalaman dan pandangan.
Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan
baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya
adalah sosialisasi konsep mewujudkan good corporate governance termasuk
mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan (resistance
to change)melalui al:
·
Orientasi dan Komunikasi
·
Program pendidikan dan
pelatihan
·
Partisipasi dan Keterlibatan.
·
Dukungan fasilitas dan berbagai
kemudahan.
Program fit and proper test merupakan salah satu upaya
mewujudkan budaya good corporate governance. Mekanisme seleksi yang
ketat dilakukan untuk memuculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut
(people fit culture).
PENUTUP
Kesimpulan
Industri perbankan merupakan sektor yang paling terpukul dengan
krisis makro ekonomi dan moneter tahun 1997. Hal tersebut juga disebabkan oleh
lemahnya fundamental pengelolaan perbankan nasional yang banyak mengabaikan
prinsip-prinsip ‘prudential banking’. Hal tersebut terkait dengan
perilaku para bankir dalam mengelola bank.
Sejak krisis ekonomi, moneter dan era reformasi, isu mengenai good
corporate governance menjadi marak diperbincangkan. Pembenahan sektor
perbankan menjadi agenda penting perbaikan ekonomi nasional secara makro. Dalam
pembahasan di atas telah dijelaskan
perubahan paradigma penting dalam mekanisme pengawasan yang menunjukkan bahwa
pemerintah mulai memperhatikan pentingnya mekanisme governing untuk
mendorong iklim good corporate governance pada industri perbankan.
Mekanisme governing yang kuat akan mendorong iklim good
corporate governance menuju efisiensi dan peningkatan kinerja ekonomi
secara nasional. Sebaliknya lemahnya mekanisme governing mendorong
terjadinya moral hazard yang akan merusak perekonomian baik secara mikro
dan makro.
DAFTAR RUJUKAN
Economics
Focus Behaviorists At The Gates. 2003. The Economist. May 10th
2003. Hal. 66.
Emil
Salim. 2001. Membangun Good Corporate Governance. The Indonesian Institute
for Corporate Governance.
Hamel, Gary and C.K Prahaland. 1994. Competing for The
Future, Boston, MA:
Harvard Business School Press.
Kurnianto, Heru. 2002. Restrukturisasi Dalam Perspektif Organisasi.
Jurnal Manajemen &
Bisnis Utilitas. Hal. 41-51.
Luthans,
Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill.
Mankiw, 2000. Macro Economics. 4th edition. Worth Publishers.
USA.
Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior.
USA: The Dryden Press.
Munzir, Erman. 1996. Makalah Ekonomi Moneter. Yogyakarta: FE UGM.
Nur
Lies Diana. 1999. Resume Seminar On Banking Supervision. Bank BNI
Jakarta. Tidak diterbitkan.
Pfeffer,
J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing
Inc.
Riyanto
L.S, Bambang. 2003. Penerapan Good Corporate Governance Sektor Keuangan Di
Indonesia. Forum Diskusi Ekonomi Putaran 1 tahun 2003 Bank Indonesia-UGM.
Swandari,
Fifi. 2002. Pengaruh Perilaku Resiko. Kepemilikan Institusi dan Kinerja Terhadap Kebangkrutan Bank Umum
di Indonesia. Proceeding Simposium Nasional Keuangan in Memoriam Prof.
Bambang Riyanto. Dies Natalis ke –47 FE UGM. Hal. 118.
Tearney.
2003. Enron & Andersen: What Went Wrong? Kuliah Umum Program Doktor
dan Msi.
Tim
Bank BNI.
1996.
Melangkah Ke Masa Depan Dengan Kearifan Masa Lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar