Kamis, 19 Juni 2014

OVERVIEW MAKRO PADA SEKTOR PERBANKAN: TINJAUAN ASPEK KEPERILAKUAN DALAM MEWUJUDKAN  GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Heru Kurnianto Tjahjono


ABSTRAK:Pembahasan artikel ini dimulai dari gambaran makro ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan sektor perbankan. Tetapi kegagalan yang telah di lakukan untuk krisis keuangan menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan appoarch lain, yang merupakan perilaku dalam suatu organisasi. Upaya untuk membawa good corporate governance menjadi kesadaran baru bahwa ekonomi makro appoarch perlu diikuti oleh aspek perilaku. Penulis sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan peilaku mencoba untuk menguraikan kebijakan ekonomi makro di sektor perbankan yang berhubungan dengan aspek perilakunya.

Keyword:Ekonomi makro, krisis, good corporate governance, perbankan, perilaku.

Dalam perspektif organisasi, upaya membangun nilai-nilai baru bagi pembenahan organisasi di masa datang bukan persoalan instan seperti membalikkan telapak tangan. Hal tersebut membutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk berubah, manajemen yang terpadu dan nilai-nilai bersama yang harus dipegang oleh anggota organisasi (shared values).
Perspektif organisasi mengkaji secara lebih internal terhadap suasana makro ekonomi dan bisnis yang melingkupi organisasi di mana organisasi harus dapat menyikapi kekuatan eksternal makro untuk tetap dapat melakukan pilihan strategi (strategic choice) bagi pengembangan organisasi seperti yang digagas oleh Child.
Kasus pada organisasi perbankan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi makro tidak hanya pada lingkup negara, namun lebih jauh lagi yaitu pada lingkup global. Berawal dari krisis moneter yang melanda negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan lainnya yang berimplikasi pada turbulensi nilai tukar. Selanjutnya ‘contagion effect’ dari krisis tersebut juga menjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis tersebut hampir melanda banyak sektor ekonomi kita, namun yang terparah adalah sektor perbankan. Hal tersebut tidak terlepas dari fundamental pengelolaan perbankan di Indonesia yang selama ini dijalankan oleh mayoritas perbankan di Indonesia sering mengabaikan prisnsip-prinsip ‘healthy banking’. Tingginya kredit macet, pelanggaran, BMPK, tidak dipenuhinya ketentuan reserve requirement (RR), Loan to Deposits Ratio (LDR), kecukupan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan persoalan-persoalan umum yang sering dijumpai dalam praktik perbankan di Indonesia. Belum lagi persoalan lemahnya profesionalisme manajemen bank tersebut dalam masalah pengelolaan termasuk pengelolaan yang tidak memperhatikan ketentuan ‘prudential banking’. Namun demikian korban yang muncul bukan hanya mereka yang dikelola tidak baik, termasuk pula bank-bank yang dikelola baik sebagai akibat fenomena ‘domino effect’, yaitu tertularnya ‘penyakit-penyakit dari bank bermasalah. Hal tersebut harus segara ditanggulangi mengingat lembaga perbankan memegang peranan penting dalam perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Terganggunya pelayanan dari jasa perbankan ini pada kondisi tertentu akan menyebabkan keresahan pada skala makro ekonomi seperti kepanikan masyarakat. Implikasinya juga pada penyediaan barang dan jasa akibat terhambatnya aktivitas sektor riil. Dampak selanjutnya kondisi tersebut adalah menurunnya kinerja ekspor sehingga menambah problema makro ekonomi yang juga menjadi problema sosial berupa peningkatan jumlah pengangguran karena sejumlah PHK pada banyak lembaga bisnis.
Dalam rangka membantu sistem perbankan Indonesia keluar dari krisis, pemerintah menggulirkan program restrukturisasi perbankan. Program tersebut pada dasarnya merupakan program inti dari upaya pemulihan ekonomi.

Fenomena Institusi Perbankan Di Indonesia

Pada tahun 1983 pemerintah Indonesia menetapkan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor perbankan dan keuangan yang diawali dengan paket kebijakan Juni 1983 (pakjun 1983) disusul paket kebijakan Oktober 1988 (pakto 1988) berserta paket kebijakan lainnya yang merupakan rangkaian dari kebijakan sebelumnya.
Inti dari berbagai paket kebijakan tersebut adalah upaya pemerintah mengakhiri sekaligus merubah paradigma lama dari pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap sektor keuangan (financial repression) dan memulai liberalisasi kegiatan usaha dan lembaga perbankan  (financial liberalization).
Latar belakang liberalisasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah turunnya harga minyak bumi yang dikhawatirkan menyebabkan defisit dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu sektor perbankan didorong untuk tampil dengan efisien sehingga dapat berperan menggairahkan iklim usaha dalam negeri.
Namun demikian perubahan yang tidak dikuti dengan perubahan mindset dan komitmen untuk mewujudkan good corporate governance pada sektor perbankan memicu lahirnya permasalahan baru. Sektor perbankan justru mengalami kegagalan seiring dengan krisis moneter 1997 yang mendorong krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Sampai saat ini LDR perbankan nasional hanya sekitar 40%, NPL masih di atas 10% dan CAR masih di bawah 5%. Bahkan selama tiga tahun terakhir pertumbuhan LDR perbankan tidak sampai 10% (sumber dikutip dari makalah Bambang Riyanto L.S.)
Secara konseptual, Erman Munzir (1996) menjelaskan peranan perbankan di Indonesia sebagai berikut:
  1. Lembaga perantara dan lembaga kepercayaan masyarakat, karena menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat.
  2. Lembaga moneter, karena perbankan menciptakan uang dan menentukan suku bunga serta bertindak sebagai saluran atau sarana untuk pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dan perbankan.
  3. Lembaga penyelenggara sistem pembayaran, karena memberikan dan menciptakan jasa untuk pembayaran secara nasional dan internasional.
  4. Lembaga pendorong ekonomi nasional, karena berperan mendorong kegiatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi.
Sedangkan peranan bank sentral adalah mengendalikan penawaran uang  adalah sebagai berikut:
  1. Operasi pasar terbuka (open market operations) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemeruintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari masyarakat, basis moneter dan penawaran uang meningkat. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada masyarakat maka basis moneter dan penawaran uang menurun.
  2. Cadangan yang disyaratkan (reserve requirement) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposit cadangan minimum.
  3. Tingkat diskonto (discount rate) adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberi pinjaman kepada bank-bank.
Ketiga instrumen di atas digunakan oleh otoritas moneter untuk menjaga kestabilan moneter dalam perekonomian suatu negara.
Dalam praktiknya jika sistem perbankan kita mempunyai fundamental pengelolaan yang baik maka badai krisis seharusnya tidak berlarut-larut. Di samping itu akan lebih banyak bank yang tetap survive meskipun badai krisis menghantam. Hal tersebut tampak pada Thailand dan Malaysia yang segera bangkit dari krisis. Bahkan lebih jauh lagi sektor perbankan memiliki fundasi yang kuat bersama-sama dengan sektor riil akan mampu membendung krisis atau paling tidak dapat segera bangkit dari krisis seperti halnya beberapa negara tetangga.

Perilaku Resiko Dalam Perbankan

Sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediation), perbankan berperan dalam menghimpun dana masyarakat melalui berbagai jenis tabungan, deposito dan produk jasa lainnya yang kemudian disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit kepada fihak yang membutuhkan dana untuk memperlancar transaksi ekonomi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan bukan berasal dari pemilik bank melainkan dari pihak lain seperti para deposan. Oleh karena itu wajar dalam neraca perbankan ratio debt to equity cukup tinggi yang mencerminkan jumlah utang (debt) lebih besar daripada modal pemilik (equity). Dalam operasionalnya, resiko yang dihadapi oleh bank cukup banyak, diantaranya adalah resiko yang disebabkan oleh tingkat bunga (Saunders, 2000).
Dari aspek perilaku, ketika bank memberi pinjaman jangka panjang biasanya akan menetapkan tingkat bunga kredit dengan tingkat bunga tetap (flat rate) dan biasanya dengan tingkat bunga yang rendah. Padahal dana yang digunakan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah yang berjangka pendek dengan tingkat bunga yang berfluktuasi (Swandari, 2002). Hal tersebut menjadi salah satu pemicu penting krisis yang melanda perbankan kita di mana non performing loan menambah permasalahan manajemen dana perbankan. Pada saat krisis tingkat bunga simpanan atau deposit pernah mencapai 60% pertahun. Implikasinya adalah macetnya fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi sekaligus mendorong rendahnya kinerja pada sektor riil. Dampak lainnya adalah negative spread yang berakibat pada berkurangnya modal bank.
Esty dalam Swandari (2002) menunjukkan bahwa pada S&L dengan bentuk organisasi yang berbeda (stock vs. mutual) akan berbeda pula perilaku resikonya. Sebagian besar bank di Indonesia berbentuk kepemilikan saham di mana nasabah juga tidak memiliki insentif untuk memonitor perilaku manajer. Ketiadaan monitor tersebut mendorong perilaku resiko manajer bank. Tingkat resiko yang tinggi (stock   thrift) memiliki kemungkinan lebih besar untuk bangkrut dibandingkan bank dengan tingkat resiko lebih rendah (mutual thrift) (Asty dalam Swandari 2002).
Restrukturisasi Perbankan Sebagai Kebijakan Makro Ekonomi
            Di awal telah dijelaskan bahwa tidak semua bank di Indonesia melakukan praktik pelanggaran di luar ketentuan ‘prudential banking’ dan menjalankan aktivitasnya secara profesional. Di samping itu keberadaan bank-bank tersebut sangat dibutuhkan bagi pemulihan ekonomi nasional. Oleh karena itu maka pemerintah menggulirkan kebijakan restrukturisasi sebagai kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian dan perekonomian menuju recovery.
            Program ini diawali dengan melakukan pembenahan sistem perbankan Indonesia dari bank-bank yang bermasalah. Bank-bank yang dinilai masih prospektif untuk diupayakan pemulihan kesehatannya (revitalisasi) dan dikembangkan. Di bawah ini langkah-langkah penting yang ditempuh melalui skema restrukturisasi perbankan:
1.     Merumuskan landasan hukum berupa Undang-Undang Perbankan (UU No. 10/98) sebagai perangkat yang akan menjamin legalitas upaya-upaya yang dilakukan melalui Restrukturisasi Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan mengenai pemberian otoritas penuh terhadap BI dalam aspek regulasi dan supervisi. Selain itu peningkatan ‘share’ kepemilikan asing juga dimungkinkan. Bank-bank nasional melalui ketentuan baru tersebut juga diberikan ijin untuk beroperasi sebagai bank syariah (berdasarkan konsep bagi hasil).
2.     Pengambilalihan aset-aset bermasalah dari bank dan menyerahkannya pada institusi khusus yang dibentuk untuk meningkatkan value dari asset tersebut, yaitu (Asset Management Unit). Upaya ini ditujukan untuk mengentaskan bank-bank dari masalah kualitas asset yang buruk karena NPL (Non Performing Liabilities) bank-bank tersebut dikeluarkan dari neraca bank, sehingga bank-bank tersebut tidak dihadapkan pada masalah kewajiban pembentukan cadangan.
3.     Melakukan Corporate Restructuring. Sebaik apapun upaya pemulihan kesehatan perbankan namun jika kondisi dunia usaha tidak ikut dibenahi, maka upaya tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Hubungan antara sektor riil (dunia usaha) dengan sektor perbankan adalah ‘ibarat telur dan ayam’. Sektor riil yang tidak produktif tidak dapat memanfaatkan lembaga bank sebagai intermediary institution. Oleh karena itu penataan kembali rules of the games dalam dunia usaha harus menjadi agenda penting program restrukturisasi perbankan.
4.     Implementasi program rekapitalisasi sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sisi liabilities neraca bank melalui penambahan modal pada bank-bank bermasalah yang masih memiliki prospek cukup baik. Mengingat besarnya dukungan. Mengingat besarnya dukungan finansial yang harus ditanggung pemerintah, program ini hanya ditujukan pada bank-bank terpilih berdasarkan kriteria tertentu. Untuk itu sebelumnya dilakukan due diligence guna menseleksi bank-bank yang bisa diikut sertakan dalam program tersebut. Secara teoritis, sesudah bank-bank tersebut ‘disuntikkan’ modal oleh pemerintah diharapkan bank-bank akan terhindar dari insolvency karena rasio CAR-nya akan meningkat. Namun demikian, program rekapitalisasi mensyaratkan penyetoran 20% fresh money dari pemegang saham lama, sebab maksimum penyertaan pemerintah hanya 80%. Dalam skenario tersebut dimungkinkan juga masuknya investor baru baik lokal maupun asing untuk mengambilalih tugas pemegang saham lama jika tidak mampu menyetor 20%.
5.     Reformasi dalam hal supervisi dan regulasi untuk memperbaik dan meningkatkan efisiensi dan keefektifan peran dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial. Dengan terjadinya seleksi alam melalui program restrukturisasi perbankan tersebut nantinya jelas akan lebih sedikit bank-bank yang beroperasi. Di tinjau dari aspek span of control, kondisi tersebut akan menguntungkan bank sentral dalam melakukan pengawasan mengingat keterbatasan SDM yang dimiliki. Dengan semakin sedikit jumlah bank yang harus diawasi oleh Bank Indonesia diharapkan kualitas pengawasan akan meningkat dan muaranya adalah peningkatan kualitas dan kinerja bank-bank nasional Indonesia.
Paradigma Baru Di Bidang Pengawasan: Antisipasi Perilaku Bankir & Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance
            Dalam upaya mendukung program restrukturisasi perbankan, terdapat hal menarik terkait dengan pengawasan perbankan. Di awal telah disinggung bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan bankir terhadap ketentuan perbankan yang telah ditetapkan. Hal tersebut tidak terlepas dari aspek perilaku para bankir. Paling tidak dapat difahami bahwa masih banyak perilaku yang tidak baik dilakukan oleh jajaran pimpinan bank.
            Kondisi tersebut mendorong reformasi di bidang pengawasan yang dinilai kurang efektif. Dengan reformasi di bidang pengawasan, peranan dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial dapat lebih diperbaiki. Hal tersebut sejalan dengan tuntutan era global yang mengharuskan peningkatan kualitas pada berbagai aspek.
            Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau teori Y ke Teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawan selama ini adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang positif aspek perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya, bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.
            Pola pikir seperti  di atas, pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena pada pengawas cenderung ‘longgar’ dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunya serangkaian sifat tidak baik seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain. Dengan asumsi demikian, setiap pengawas haru berhati-hati dan teliti dalam melakukan tugas pengawasannya.
            Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory authority. Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks demikian, paradigma tersebut perlu dirubah menjadi supervisory authority yang menekankan pada tindakan langsung atau pengenaan sanksi atas terjadinya pelanggaran sehingga diharapkan fungsi pengawasan akan lebih dapat dijalankan dengan mempertimbangkan perilaku para bankir dewasa ini.
Dalam upaya perubahan budaya menuju good corporate governance, hal utama yang penting  untuk  ditekankan  adalah  komitmen  otoritas terhadap  budaya  tersebut.  Komitmen  tersebut harus selalu disampaikan  dan didukung oleh  semua pihak dalam  organisasi.  Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman dan pandangan.
Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya adalah sosialisasi konsep mewujudkan good corporate governance termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan (resistance to change)melalui al:
·       Orientasi dan Komunikasi
·       Program pendidikan dan pelatihan
·       Partisipasi dan Keterlibatan.
·       Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan.
Program fit and proper test merupakan salah satu upaya mewujudkan budaya good corporate governance. Mekanisme seleksi yang ketat dilakukan untuk memuculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut (people fit culture).
PENUTUP
Kesimpulan
            Industri perbankan merupakan sektor yang paling terpukul dengan krisis makro ekonomi dan moneter tahun 1997. Hal tersebut juga disebabkan oleh lemahnya fundamental pengelolaan perbankan nasional yang banyak mengabaikan prinsip-prinsip ‘prudential banking’. Hal tersebut terkait dengan perilaku para bankir dalam mengelola bank.
            Sejak krisis ekonomi, moneter dan era reformasi, isu mengenai good corporate governance menjadi marak diperbincangkan. Pembenahan sektor perbankan menjadi agenda penting perbaikan ekonomi nasional secara makro. Dalam pembahasan di atas  telah dijelaskan perubahan paradigma penting dalam mekanisme pengawasan yang menunjukkan bahwa pemerintah mulai memperhatikan pentingnya mekanisme governing untuk mendorong iklim good corporate governance pada industri perbankan.
            Mekanisme governing yang kuat akan mendorong iklim good corporate governance menuju efisiensi dan peningkatan kinerja ekonomi secara nasional. Sebaliknya lemahnya mekanisme governing mendorong terjadinya moral hazard yang akan merusak perekonomian baik secara mikro dan makro.

DAFTAR RUJUKAN

Economics Focus Behaviorists At The Gates. 2003. The Economist. May 10th 2003. Hal. 66.
Emil Salim. 2001. Membangun Good Corporate Governance. The Indonesian Institute for Corporate Governance.
Hamel, Gary and  C.K Prahaland. 1994.  Competing  for The  Future,  Boston,  MA:  Harvard  Business School  Press.
Kurnianto, Heru. 2002. Restrukturisasi Dalam Perspektif Organisasi. Jurnal      Manajemen & Bisnis Utilitas. Hal. 41-51.
Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill.
Mankiw, 2000. Macro Economics. 4th edition. Worth Publishers. USA.
Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press.
Munzir, Erman. 1996. Makalah Ekonomi Moneter. Yogyakarta: FE UGM.
Nur Lies Diana. 1999. Resume Seminar On Banking Supervision. Bank BNI Jakarta. Tidak diterbitkan.
Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.
Riyanto L.S, Bambang. 2003. Penerapan Good Corporate Governance Sektor Keuangan Di Indonesia. Forum Diskusi Ekonomi Putaran 1 tahun 2003 Bank Indonesia-UGM.
Swandari, Fifi. 2002. Pengaruh Perilaku Resiko. Kepemilikan Institusi dan Kinerja Terhadap Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia. Proceeding Simposium Nasional Keuangan in Memoriam Prof. Bambang Riyanto. Dies Natalis ke –47 FE UGM. Hal. 118.
Tearney. 2003. Enron & Andersen: What Went Wrong? Kuliah Umum Program Doktor dan Msi.
Tim Bank BNI. 1996. Melangkah Ke Masa Depan Dengan Kearifan Masa Lalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar