Kamis, 19 Juni 2014

Artikel konseptual tentang ekonomi

OVERVIEW MAKRO PADA SEKTOR PERBANKAN: TINJAUAN ASPEK KEPERILAKUAN DALAM MEWUJUDKAN  GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Heru Kurnianto Tjahjono


ABSTRAK:Pembahasan artikel ini dimulai dari gambaran makro ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan sektor perbankan. Tetapi kegagalan yang telah di lakukan untuk krisis keuangan menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan appoarch lain, yang merupakan perilaku dalam suatu organisasi. Upaya untuk membawa good corporate governance menjadi kesadaran baru bahwa ekonomi makro appoarch perlu diikuti oleh aspek perilaku. Penulis sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan peilaku mencoba untuk menguraikan kebijakan ekonomi makro di sektor perbankan yang berhubungan dengan aspek perilakunya.

Keyword:Ekonomi makro, krisis, good corporate governance, perbankan, perilaku.

Dalam perspektif organisasi, upaya membangun nilai-nilai baru bagi pembenahan organisasi di masa datang bukan persoalan instan seperti membalikkan telapak tangan. Hal tersebut membutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk berubah, manajemen yang terpadu dan nilai-nilai bersama yang harus dipegang oleh anggota organisasi (shared values).
Perspektif organisasi mengkaji secara lebih internal terhadap suasana makro ekonomi dan bisnis yang melingkupi organisasi di mana organisasi harus dapat menyikapi kekuatan eksternal makro untuk tetap dapat melakukan pilihan strategi (strategic choice) bagi pengembangan organisasi seperti yang digagas oleh Child.
Kasus pada organisasi perbankan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi makro tidak hanya pada lingkup negara, namun lebih jauh lagi yaitu pada lingkup global. Berawal dari krisis moneter yang melanda negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan lainnya yang berimplikasi pada turbulensi nilai tukar. Selanjutnya ‘contagion effect’ dari krisis tersebut juga menjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis tersebut hampir melanda banyak sektor ekonomi kita, namun yang terparah adalah sektor perbankan. Hal tersebut tidak terlepas dari fundamental pengelolaan perbankan di Indonesia yang selama ini dijalankan oleh mayoritas perbankan di Indonesia sering mengabaikan prisnsip-prinsip ‘healthy banking’. Tingginya kredit macet, pelanggaran, BMPK, tidak dipenuhinya ketentuan reserve requirement (RR), Loan to Deposits Ratio (LDR), kecukupan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan persoalan-persoalan umum yang sering dijumpai dalam praktik perbankan di Indonesia. Belum lagi persoalan lemahnya profesionalisme manajemen bank tersebut dalam masalah pengelolaan termasuk pengelolaan yang tidak memperhatikan ketentuan ‘prudential banking’. Namun demikian korban yang muncul bukan hanya mereka yang dikelola tidak baik, termasuk pula bank-bank yang dikelola baik sebagai akibat fenomena ‘domino effect’, yaitu tertularnya ‘penyakit-penyakit dari bank bermasalah. Hal tersebut harus segara ditanggulangi mengingat lembaga perbankan memegang peranan penting dalam perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Terganggunya pelayanan dari jasa perbankan ini pada kondisi tertentu akan menyebabkan keresahan pada skala makro ekonomi seperti kepanikan masyarakat. Implikasinya juga pada penyediaan barang dan jasa akibat terhambatnya aktivitas sektor riil. Dampak selanjutnya kondisi tersebut adalah menurunnya kinerja ekspor sehingga menambah problema makro ekonomi yang juga menjadi problema sosial berupa peningkatan jumlah pengangguran karena sejumlah PHK pada banyak lembaga bisnis.
Dalam rangka membantu sistem perbankan Indonesia keluar dari krisis, pemerintah menggulirkan program restrukturisasi perbankan. Program tersebut pada dasarnya merupakan program inti dari upaya pemulihan ekonomi.

Fenomena Institusi Perbankan Di Indonesia

Pada tahun 1983 pemerintah Indonesia menetapkan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor perbankan dan keuangan yang diawali dengan paket kebijakan Juni 1983 (pakjun 1983) disusul paket kebijakan Oktober 1988 (pakto 1988) berserta paket kebijakan lainnya yang merupakan rangkaian dari kebijakan sebelumnya.
Inti dari berbagai paket kebijakan tersebut adalah upaya pemerintah mengakhiri sekaligus merubah paradigma lama dari pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap sektor keuangan (financial repression) dan memulai liberalisasi kegiatan usaha dan lembaga perbankan  (financial liberalization).
Latar belakang liberalisasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah turunnya harga minyak bumi yang dikhawatirkan menyebabkan defisit dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu sektor perbankan didorong untuk tampil dengan efisien sehingga dapat berperan menggairahkan iklim usaha dalam negeri.
Namun demikian perubahan yang tidak dikuti dengan perubahan mindset dan komitmen untuk mewujudkan good corporate governance pada sektor perbankan memicu lahirnya permasalahan baru. Sektor perbankan justru mengalami kegagalan seiring dengan krisis moneter 1997 yang mendorong krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Sampai saat ini LDR perbankan nasional hanya sekitar 40%, NPL masih di atas 10% dan CAR masih di bawah 5%. Bahkan selama tiga tahun terakhir pertumbuhan LDR perbankan tidak sampai 10% (sumber dikutip dari makalah Bambang Riyanto L.S.)
Secara konseptual, Erman Munzir (1996) menjelaskan peranan perbankan di Indonesia sebagai berikut:
  1. Lembaga perantara dan lembaga kepercayaan masyarakat, karena menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat.
  2. Lembaga moneter, karena perbankan menciptakan uang dan menentukan suku bunga serta bertindak sebagai saluran atau sarana untuk pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dan perbankan.
  3. Lembaga penyelenggara sistem pembayaran, karena memberikan dan menciptakan jasa untuk pembayaran secara nasional dan internasional.
  4. Lembaga pendorong ekonomi nasional, karena berperan mendorong kegiatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi.
Sedangkan peranan bank sentral adalah mengendalikan penawaran uang  adalah sebagai berikut:
  1. Operasi pasar terbuka (open market operations) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemeruintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari masyarakat, basis moneter dan penawaran uang meningkat. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada masyarakat maka basis moneter dan penawaran uang menurun.
  2. Cadangan yang disyaratkan (reserve requirement) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposit cadangan minimum.
  3. Tingkat diskonto (discount rate) adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberi pinjaman kepada bank-bank.
Ketiga instrumen di atas digunakan oleh otoritas moneter untuk menjaga kestabilan moneter dalam perekonomian suatu negara.
Dalam praktiknya jika sistem perbankan kita mempunyai fundamental pengelolaan yang baik maka badai krisis seharusnya tidak berlarut-larut. Di samping itu akan lebih banyak bank yang tetap survive meskipun badai krisis menghantam. Hal tersebut tampak pada Thailand dan Malaysia yang segera bangkit dari krisis. Bahkan lebih jauh lagi sektor perbankan memiliki fundasi yang kuat bersama-sama dengan sektor riil akan mampu membendung krisis atau paling tidak dapat segera bangkit dari krisis seperti halnya beberapa negara tetangga.

Perilaku Resiko Dalam Perbankan

Sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediation), perbankan berperan dalam menghimpun dana masyarakat melalui berbagai jenis tabungan, deposito dan produk jasa lainnya yang kemudian disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit kepada fihak yang membutuhkan dana untuk memperlancar transaksi ekonomi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan bukan berasal dari pemilik bank melainkan dari pihak lain seperti para deposan. Oleh karena itu wajar dalam neraca perbankan ratio debt to equity cukup tinggi yang mencerminkan jumlah utang (debt) lebih besar daripada modal pemilik (equity). Dalam operasionalnya, resiko yang dihadapi oleh bank cukup banyak, diantaranya adalah resiko yang disebabkan oleh tingkat bunga (Saunders, 2000).
Dari aspek perilaku, ketika bank memberi pinjaman jangka panjang biasanya akan menetapkan tingkat bunga kredit dengan tingkat bunga tetap (flat rate) dan biasanya dengan tingkat bunga yang rendah. Padahal dana yang digunakan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah yang berjangka pendek dengan tingkat bunga yang berfluktuasi (Swandari, 2002). Hal tersebut menjadi salah satu pemicu penting krisis yang melanda perbankan kita di mana non performing loan menambah permasalahan manajemen dana perbankan. Pada saat krisis tingkat bunga simpanan atau deposit pernah mencapai 60% pertahun. Implikasinya adalah macetnya fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi sekaligus mendorong rendahnya kinerja pada sektor riil. Dampak lainnya adalah negative spread yang berakibat pada berkurangnya modal bank.
Esty dalam Swandari (2002) menunjukkan bahwa pada S&L dengan bentuk organisasi yang berbeda (stock vs. mutual) akan berbeda pula perilaku resikonya. Sebagian besar bank di Indonesia berbentuk kepemilikan saham di mana nasabah juga tidak memiliki insentif untuk memonitor perilaku manajer. Ketiadaan monitor tersebut mendorong perilaku resiko manajer bank. Tingkat resiko yang tinggi (stock   thrift) memiliki kemungkinan lebih besar untuk bangkrut dibandingkan bank dengan tingkat resiko lebih rendah (mutual thrift) (Asty dalam Swandari 2002).
Restrukturisasi Perbankan Sebagai Kebijakan Makro Ekonomi
            Di awal telah dijelaskan bahwa tidak semua bank di Indonesia melakukan praktik pelanggaran di luar ketentuan ‘prudential banking’ dan menjalankan aktivitasnya secara profesional. Di samping itu keberadaan bank-bank tersebut sangat dibutuhkan bagi pemulihan ekonomi nasional. Oleh karena itu maka pemerintah menggulirkan kebijakan restrukturisasi sebagai kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian dan perekonomian menuju recovery.
            Program ini diawali dengan melakukan pembenahan sistem perbankan Indonesia dari bank-bank yang bermasalah. Bank-bank yang dinilai masih prospektif untuk diupayakan pemulihan kesehatannya (revitalisasi) dan dikembangkan. Di bawah ini langkah-langkah penting yang ditempuh melalui skema restrukturisasi perbankan:
1.     Merumuskan landasan hukum berupa Undang-Undang Perbankan (UU No. 10/98) sebagai perangkat yang akan menjamin legalitas upaya-upaya yang dilakukan melalui Restrukturisasi Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan mengenai pemberian otoritas penuh terhadap BI dalam aspek regulasi dan supervisi. Selain itu peningkatan ‘share’ kepemilikan asing juga dimungkinkan. Bank-bank nasional melalui ketentuan baru tersebut juga diberikan ijin untuk beroperasi sebagai bank syariah (berdasarkan konsep bagi hasil).
2.     Pengambilalihan aset-aset bermasalah dari bank dan menyerahkannya pada institusi khusus yang dibentuk untuk meningkatkan value dari asset tersebut, yaitu (Asset Management Unit). Upaya ini ditujukan untuk mengentaskan bank-bank dari masalah kualitas asset yang buruk karena NPL (Non Performing Liabilities) bank-bank tersebut dikeluarkan dari neraca bank, sehingga bank-bank tersebut tidak dihadapkan pada masalah kewajiban pembentukan cadangan.
3.     Melakukan Corporate Restructuring. Sebaik apapun upaya pemulihan kesehatan perbankan namun jika kondisi dunia usaha tidak ikut dibenahi, maka upaya tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Hubungan antara sektor riil (dunia usaha) dengan sektor perbankan adalah ‘ibarat telur dan ayam’. Sektor riil yang tidak produktif tidak dapat memanfaatkan lembaga bank sebagai intermediary institution. Oleh karena itu penataan kembali rules of the games dalam dunia usaha harus menjadi agenda penting program restrukturisasi perbankan.
4.     Implementasi program rekapitalisasi sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sisi liabilities neraca bank melalui penambahan modal pada bank-bank bermasalah yang masih memiliki prospek cukup baik. Mengingat besarnya dukungan. Mengingat besarnya dukungan finansial yang harus ditanggung pemerintah, program ini hanya ditujukan pada bank-bank terpilih berdasarkan kriteria tertentu. Untuk itu sebelumnya dilakukan due diligence guna menseleksi bank-bank yang bisa diikut sertakan dalam program tersebut. Secara teoritis, sesudah bank-bank tersebut ‘disuntikkan’ modal oleh pemerintah diharapkan bank-bank akan terhindar dari insolvency karena rasio CAR-nya akan meningkat. Namun demikian, program rekapitalisasi mensyaratkan penyetoran 20% fresh money dari pemegang saham lama, sebab maksimum penyertaan pemerintah hanya 80%. Dalam skenario tersebut dimungkinkan juga masuknya investor baru baik lokal maupun asing untuk mengambilalih tugas pemegang saham lama jika tidak mampu menyetor 20%.
5.     Reformasi dalam hal supervisi dan regulasi untuk memperbaik dan meningkatkan efisiensi dan keefektifan peran dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial. Dengan terjadinya seleksi alam melalui program restrukturisasi perbankan tersebut nantinya jelas akan lebih sedikit bank-bank yang beroperasi. Di tinjau dari aspek span of control, kondisi tersebut akan menguntungkan bank sentral dalam melakukan pengawasan mengingat keterbatasan SDM yang dimiliki. Dengan semakin sedikit jumlah bank yang harus diawasi oleh Bank Indonesia diharapkan kualitas pengawasan akan meningkat dan muaranya adalah peningkatan kualitas dan kinerja bank-bank nasional Indonesia.
Paradigma Baru Di Bidang Pengawasan: Antisipasi Perilaku Bankir & Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance
            Dalam upaya mendukung program restrukturisasi perbankan, terdapat hal menarik terkait dengan pengawasan perbankan. Di awal telah disinggung bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan bankir terhadap ketentuan perbankan yang telah ditetapkan. Hal tersebut tidak terlepas dari aspek perilaku para bankir. Paling tidak dapat difahami bahwa masih banyak perilaku yang tidak baik dilakukan oleh jajaran pimpinan bank.
            Kondisi tersebut mendorong reformasi di bidang pengawasan yang dinilai kurang efektif. Dengan reformasi di bidang pengawasan, peranan dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial dapat lebih diperbaiki. Hal tersebut sejalan dengan tuntutan era global yang mengharuskan peningkatan kualitas pada berbagai aspek.
            Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau teori Y ke Teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawan selama ini adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang positif aspek perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya, bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.
            Pola pikir seperti  di atas, pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena pada pengawas cenderung ‘longgar’ dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunya serangkaian sifat tidak baik seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain. Dengan asumsi demikian, setiap pengawas haru berhati-hati dan teliti dalam melakukan tugas pengawasannya.
            Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory authority. Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks demikian, paradigma tersebut perlu dirubah menjadi supervisory authority yang menekankan pada tindakan langsung atau pengenaan sanksi atas terjadinya pelanggaran sehingga diharapkan fungsi pengawasan akan lebih dapat dijalankan dengan mempertimbangkan perilaku para bankir dewasa ini.
Dalam upaya perubahan budaya menuju good corporate governance, hal utama yang penting  untuk  ditekankan  adalah  komitmen  otoritas terhadap  budaya  tersebut.  Komitmen  tersebut harus selalu disampaikan  dan didukung oleh  semua pihak dalam  organisasi.  Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman dan pandangan.
Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya adalah sosialisasi konsep mewujudkan good corporate governance termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan (resistance to change)melalui al:
·       Orientasi dan Komunikasi
·       Program pendidikan dan pelatihan
·       Partisipasi dan Keterlibatan.
·       Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan.
Program fit and proper test merupakan salah satu upaya mewujudkan budaya good corporate governance. Mekanisme seleksi yang ketat dilakukan untuk memuculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut (people fit culture).
PENUTUP
Kesimpulan
            Industri perbankan merupakan sektor yang paling terpukul dengan krisis makro ekonomi dan moneter tahun 1997. Hal tersebut juga disebabkan oleh lemahnya fundamental pengelolaan perbankan nasional yang banyak mengabaikan prinsip-prinsip ‘prudential banking’. Hal tersebut terkait dengan perilaku para bankir dalam mengelola bank.
            Sejak krisis ekonomi, moneter dan era reformasi, isu mengenai good corporate governance menjadi marak diperbincangkan. Pembenahan sektor perbankan menjadi agenda penting perbaikan ekonomi nasional secara makro. Dalam pembahasan di atas  telah dijelaskan perubahan paradigma penting dalam mekanisme pengawasan yang menunjukkan bahwa pemerintah mulai memperhatikan pentingnya mekanisme governing untuk mendorong iklim good corporate governance pada industri perbankan.
            Mekanisme governing yang kuat akan mendorong iklim good corporate governance menuju efisiensi dan peningkatan kinerja ekonomi secara nasional. Sebaliknya lemahnya mekanisme governing mendorong terjadinya moral hazard yang akan merusak perekonomian baik secara mikro dan makro.

DAFTAR RUJUKAN

Economics Focus Behaviorists At The Gates. 2003. The Economist. May 10th 2003. Hal. 66.
Emil Salim. 2001. Membangun Good Corporate Governance. The Indonesian Institute for Corporate Governance.
Hamel, Gary and  C.K Prahaland. 1994.  Competing  for The  Future,  Boston,  MA:  Harvard  Business School  Press.
Kurnianto, Heru. 2002. Restrukturisasi Dalam Perspektif Organisasi. Jurnal      Manajemen & Bisnis Utilitas. Hal. 41-51.
Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill.
Mankiw, 2000. Macro Economics. 4th edition. Worth Publishers. USA.
Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press.
Munzir, Erman. 1996. Makalah Ekonomi Moneter. Yogyakarta: FE UGM.
Nur Lies Diana. 1999. Resume Seminar On Banking Supervision. Bank BNI Jakarta. Tidak diterbitkan.
Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.
Riyanto L.S, Bambang. 2003. Penerapan Good Corporate Governance Sektor Keuangan Di Indonesia. Forum Diskusi Ekonomi Putaran 1 tahun 2003 Bank Indonesia-UGM.
Swandari, Fifi. 2002. Pengaruh Perilaku Resiko. Kepemilikan Institusi dan Kinerja Terhadap Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia. Proceeding Simposium Nasional Keuangan in Memoriam Prof. Bambang Riyanto. Dies Natalis ke –47 FE UGM. Hal. 118.
Tearney. 2003. Enron & Andersen: What Went Wrong? Kuliah Umum Program Doktor dan Msi.
Tim Bank BNI. 1996. Melangkah Ke Masa Depan Dengan Kearifan Masa Lalu.


OVERVIEW MAKRO PADA SEKTOR PERBANKAN: TINJAUAN ASPEK KEPERILAKUAN DALAM MEWUJUDKAN  GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Heru Kurnianto Tjahjono


ABSTRAK:Pembahasan artikel ini dimulai dari gambaran makro ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan sektor perbankan. Tetapi kegagalan yang telah di lakukan untuk krisis keuangan menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan appoarch lain, yang merupakan perilaku dalam suatu organisasi. Upaya untuk membawa good corporate governance menjadi kesadaran baru bahwa ekonomi makro appoarch perlu diikuti oleh aspek perilaku. Penulis sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan peilaku mencoba untuk menguraikan kebijakan ekonomi makro di sektor perbankan yang berhubungan dengan aspek perilakunya.

Keyword:Ekonomi makro, krisis, good corporate governance, perbankan, perilaku.

Dalam perspektif organisasi, upaya membangun nilai-nilai baru bagi pembenahan organisasi di masa datang bukan persoalan instan seperti membalikkan telapak tangan. Hal tersebut membutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk berubah, manajemen yang terpadu dan nilai-nilai bersama yang harus dipegang oleh anggota organisasi (shared values).
Perspektif organisasi mengkaji secara lebih internal terhadap suasana makro ekonomi dan bisnis yang melingkupi organisasi di mana organisasi harus dapat menyikapi kekuatan eksternal makro untuk tetap dapat melakukan pilihan strategi (strategic choice) bagi pengembangan organisasi seperti yang digagas oleh Child.
Kasus pada organisasi perbankan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi makro tidak hanya pada lingkup negara, namun lebih jauh lagi yaitu pada lingkup global. Berawal dari krisis moneter yang melanda negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan lainnya yang berimplikasi pada turbulensi nilai tukar. Selanjutnya ‘contagion effect’ dari krisis tersebut juga menjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis tersebut hampir melanda banyak sektor ekonomi kita, namun yang terparah adalah sektor perbankan. Hal tersebut tidak terlepas dari fundamental pengelolaan perbankan di Indonesia yang selama ini dijalankan oleh mayoritas perbankan di Indonesia sering mengabaikan prisnsip-prinsip ‘healthy banking’. Tingginya kredit macet, pelanggaran, BMPK, tidak dipenuhinya ketentuan reserve requirement (RR), Loan to Deposits Ratio (LDR), kecukupan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan persoalan-persoalan umum yang sering dijumpai dalam praktik perbankan di Indonesia. Belum lagi persoalan lemahnya profesionalisme manajemen bank tersebut dalam masalah pengelolaan termasuk pengelolaan yang tidak memperhatikan ketentuan ‘prudential banking’. Namun demikian korban yang muncul bukan hanya mereka yang dikelola tidak baik, termasuk pula bank-bank yang dikelola baik sebagai akibat fenomena ‘domino effect’, yaitu tertularnya ‘penyakit-penyakit dari bank bermasalah. Hal tersebut harus segara ditanggulangi mengingat lembaga perbankan memegang peranan penting dalam perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Terganggunya pelayanan dari jasa perbankan ini pada kondisi tertentu akan menyebabkan keresahan pada skala makro ekonomi seperti kepanikan masyarakat. Implikasinya juga pada penyediaan barang dan jasa akibat terhambatnya aktivitas sektor riil. Dampak selanjutnya kondisi tersebut adalah menurunnya kinerja ekspor sehingga menambah problema makro ekonomi yang juga menjadi problema sosial berupa peningkatan jumlah pengangguran karena sejumlah PHK pada banyak lembaga bisnis.
Dalam rangka membantu sistem perbankan Indonesia keluar dari krisis, pemerintah menggulirkan program restrukturisasi perbankan. Program tersebut pada dasarnya merupakan program inti dari upaya pemulihan ekonomi.

Fenomena Institusi Perbankan Di Indonesia

Pada tahun 1983 pemerintah Indonesia menetapkan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor perbankan dan keuangan yang diawali dengan paket kebijakan Juni 1983 (pakjun 1983) disusul paket kebijakan Oktober 1988 (pakto 1988) berserta paket kebijakan lainnya yang merupakan rangkaian dari kebijakan sebelumnya.
Inti dari berbagai paket kebijakan tersebut adalah upaya pemerintah mengakhiri sekaligus merubah paradigma lama dari pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap sektor keuangan (financial repression) dan memulai liberalisasi kegiatan usaha dan lembaga perbankan  (financial liberalization).
Latar belakang liberalisasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah turunnya harga minyak bumi yang dikhawatirkan menyebabkan defisit dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu sektor perbankan didorong untuk tampil dengan efisien sehingga dapat berperan menggairahkan iklim usaha dalam negeri.
Namun demikian perubahan yang tidak dikuti dengan perubahan mindset dan komitmen untuk mewujudkan good corporate governance pada sektor perbankan memicu lahirnya permasalahan baru. Sektor perbankan justru mengalami kegagalan seiring dengan krisis moneter 1997 yang mendorong krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Sampai saat ini LDR perbankan nasional hanya sekitar 40%, NPL masih di atas 10% dan CAR masih di bawah 5%. Bahkan selama tiga tahun terakhir pertumbuhan LDR perbankan tidak sampai 10% (sumber dikutip dari makalah Bambang Riyanto L.S.)
Secara konseptual, Erman Munzir (1996) menjelaskan peranan perbankan di Indonesia sebagai berikut:
  1. Lembaga perantara dan lembaga kepercayaan masyarakat, karena menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat.
  2. Lembaga moneter, karena perbankan menciptakan uang dan menentukan suku bunga serta bertindak sebagai saluran atau sarana untuk pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dan perbankan.
  3. Lembaga penyelenggara sistem pembayaran, karena memberikan dan menciptakan jasa untuk pembayaran secara nasional dan internasional.
  4. Lembaga pendorong ekonomi nasional, karena berperan mendorong kegiatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi.
Sedangkan peranan bank sentral adalah mengendalikan penawaran uang  adalah sebagai berikut:
  1. Operasi pasar terbuka (open market operations) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemeruintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari masyarakat, basis moneter dan penawaran uang meningkat. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada masyarakat maka basis moneter dan penawaran uang menurun.
  2. Cadangan yang disyaratkan (reserve requirement) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposit cadangan minimum.
  3. Tingkat diskonto (discount rate) adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberi pinjaman kepada bank-bank.
Ketiga instrumen di atas digunakan oleh otoritas moneter untuk menjaga kestabilan moneter dalam perekonomian suatu negara.
Dalam praktiknya jika sistem perbankan kita mempunyai fundamental pengelolaan yang baik maka badai krisis seharusnya tidak berlarut-larut. Di samping itu akan lebih banyak bank yang tetap survive meskipun badai krisis menghantam. Hal tersebut tampak pada Thailand dan Malaysia yang segera bangkit dari krisis. Bahkan lebih jauh lagi sektor perbankan memiliki fundasi yang kuat bersama-sama dengan sektor riil akan mampu membendung krisis atau paling tidak dapat segera bangkit dari krisis seperti halnya beberapa negara tetangga.

Perilaku Resiko Dalam Perbankan

Sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediation), perbankan berperan dalam menghimpun dana masyarakat melalui berbagai jenis tabungan, deposito dan produk jasa lainnya yang kemudian disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit kepada fihak yang membutuhkan dana untuk memperlancar transaksi ekonomi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan bukan berasal dari pemilik bank melainkan dari pihak lain seperti para deposan. Oleh karena itu wajar dalam neraca perbankan ratio debt to equity cukup tinggi yang mencerminkan jumlah utang (debt) lebih besar daripada modal pemilik (equity). Dalam operasionalnya, resiko yang dihadapi oleh bank cukup banyak, diantaranya adalah resiko yang disebabkan oleh tingkat bunga (Saunders, 2000).
Dari aspek perilaku, ketika bank memberi pinjaman jangka panjang biasanya akan menetapkan tingkat bunga kredit dengan tingkat bunga tetap (flat rate) dan biasanya dengan tingkat bunga yang rendah. Padahal dana yang digunakan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah yang berjangka pendek dengan tingkat bunga yang berfluktuasi (Swandari, 2002). Hal tersebut menjadi salah satu pemicu penting krisis yang melanda perbankan kita di mana non performing loan menambah permasalahan manajemen dana perbankan. Pada saat krisis tingkat bunga simpanan atau deposit pernah mencapai 60% pertahun. Implikasinya adalah macetnya fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi sekaligus mendorong rendahnya kinerja pada sektor riil. Dampak lainnya adalah negative spread yang berakibat pada berkurangnya modal bank.
Esty dalam Swandari (2002) menunjukkan bahwa pada S&L dengan bentuk organisasi yang berbeda (stock vs. mutual) akan berbeda pula perilaku resikonya. Sebagian besar bank di Indonesia berbentuk kepemilikan saham di mana nasabah juga tidak memiliki insentif untuk memonitor perilaku manajer. Ketiadaan monitor tersebut mendorong perilaku resiko manajer bank. Tingkat resiko yang tinggi (stock   thrift) memiliki kemungkinan lebih besar untuk bangkrut dibandingkan bank dengan tingkat resiko lebih rendah (mutual thrift) (Asty dalam Swandari 2002).
Restrukturisasi Perbankan Sebagai Kebijakan Makro Ekonomi
            Di awal telah dijelaskan bahwa tidak semua bank di Indonesia melakukan praktik pelanggaran di luar ketentuan ‘prudential banking’ dan menjalankan aktivitasnya secara profesional. Di samping itu keberadaan bank-bank tersebut sangat dibutuhkan bagi pemulihan ekonomi nasional. Oleh karena itu maka pemerintah menggulirkan kebijakan restrukturisasi sebagai kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian dan perekonomian menuju recovery.
            Program ini diawali dengan melakukan pembenahan sistem perbankan Indonesia dari bank-bank yang bermasalah. Bank-bank yang dinilai masih prospektif untuk diupayakan pemulihan kesehatannya (revitalisasi) dan dikembangkan. Di bawah ini langkah-langkah penting yang ditempuh melalui skema restrukturisasi perbankan:
1.     Merumuskan landasan hukum berupa Undang-Undang Perbankan (UU No. 10/98) sebagai perangkat yang akan menjamin legalitas upaya-upaya yang dilakukan melalui Restrukturisasi Perbankan. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan mengenai pemberian otoritas penuh terhadap BI dalam aspek regulasi dan supervisi. Selain itu peningkatan ‘share’ kepemilikan asing juga dimungkinkan. Bank-bank nasional melalui ketentuan baru tersebut juga diberikan ijin untuk beroperasi sebagai bank syariah (berdasarkan konsep bagi hasil).
2.     Pengambilalihan aset-aset bermasalah dari bank dan menyerahkannya pada institusi khusus yang dibentuk untuk meningkatkan value dari asset tersebut, yaitu (Asset Management Unit). Upaya ini ditujukan untuk mengentaskan bank-bank dari masalah kualitas asset yang buruk karena NPL (Non Performing Liabilities) bank-bank tersebut dikeluarkan dari neraca bank, sehingga bank-bank tersebut tidak dihadapkan pada masalah kewajiban pembentukan cadangan.
3.     Melakukan Corporate Restructuring. Sebaik apapun upaya pemulihan kesehatan perbankan namun jika kondisi dunia usaha tidak ikut dibenahi, maka upaya tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Hubungan antara sektor riil (dunia usaha) dengan sektor perbankan adalah ‘ibarat telur dan ayam’. Sektor riil yang tidak produktif tidak dapat memanfaatkan lembaga bank sebagai intermediary institution. Oleh karena itu penataan kembali rules of the games dalam dunia usaha harus menjadi agenda penting program restrukturisasi perbankan.
4.     Implementasi program rekapitalisasi sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sisi liabilities neraca bank melalui penambahan modal pada bank-bank bermasalah yang masih memiliki prospek cukup baik. Mengingat besarnya dukungan. Mengingat besarnya dukungan finansial yang harus ditanggung pemerintah, program ini hanya ditujukan pada bank-bank terpilih berdasarkan kriteria tertentu. Untuk itu sebelumnya dilakukan due diligence guna menseleksi bank-bank yang bisa diikut sertakan dalam program tersebut. Secara teoritis, sesudah bank-bank tersebut ‘disuntikkan’ modal oleh pemerintah diharapkan bank-bank akan terhindar dari insolvency karena rasio CAR-nya akan meningkat. Namun demikian, program rekapitalisasi mensyaratkan penyetoran 20% fresh money dari pemegang saham lama, sebab maksimum penyertaan pemerintah hanya 80%. Dalam skenario tersebut dimungkinkan juga masuknya investor baru baik lokal maupun asing untuk mengambilalih tugas pemegang saham lama jika tidak mampu menyetor 20%.
5.     Reformasi dalam hal supervisi dan regulasi untuk memperbaik dan meningkatkan efisiensi dan keefektifan peran dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial. Dengan terjadinya seleksi alam melalui program restrukturisasi perbankan tersebut nantinya jelas akan lebih sedikit bank-bank yang beroperasi. Di tinjau dari aspek span of control, kondisi tersebut akan menguntungkan bank sentral dalam melakukan pengawasan mengingat keterbatasan SDM yang dimiliki. Dengan semakin sedikit jumlah bank yang harus diawasi oleh Bank Indonesia diharapkan kualitas pengawasan akan meningkat dan muaranya adalah peningkatan kualitas dan kinerja bank-bank nasional Indonesia.
Paradigma Baru Di Bidang Pengawasan: Antisipasi Perilaku Bankir & Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance
            Dalam upaya mendukung program restrukturisasi perbankan, terdapat hal menarik terkait dengan pengawasan perbankan. Di awal telah disinggung bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan bankir terhadap ketentuan perbankan yang telah ditetapkan. Hal tersebut tidak terlepas dari aspek perilaku para bankir. Paling tidak dapat difahami bahwa masih banyak perilaku yang tidak baik dilakukan oleh jajaran pimpinan bank.
            Kondisi tersebut mendorong reformasi di bidang pengawasan yang dinilai kurang efektif. Dengan reformasi di bidang pengawasan, peranan dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial dapat lebih diperbaiki. Hal tersebut sejalan dengan tuntutan era global yang mengharuskan peningkatan kualitas pada berbagai aspek.
            Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau teori Y ke Teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawan selama ini adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang positif aspek perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya, bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.
            Pola pikir seperti  di atas, pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena pada pengawas cenderung ‘longgar’ dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunya serangkaian sifat tidak baik seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain. Dengan asumsi demikian, setiap pengawas haru berhati-hati dan teliti dalam melakukan tugas pengawasannya.
            Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory authority. Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks demikian, paradigma tersebut perlu dirubah menjadi supervisory authority yang menekankan pada tindakan langsung atau pengenaan sanksi atas terjadinya pelanggaran sehingga diharapkan fungsi pengawasan akan lebih dapat dijalankan dengan mempertimbangkan perilaku para bankir dewasa ini.
Dalam upaya perubahan budaya menuju good corporate governance, hal utama yang penting  untuk  ditekankan  adalah  komitmen  otoritas terhadap  budaya  tersebut.  Komitmen  tersebut harus selalu disampaikan  dan didukung oleh  semua pihak dalam  organisasi.  Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman dan pandangan.
Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya adalah sosialisasi konsep mewujudkan good corporate governance termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan (resistance to change)melalui al:
·       Orientasi dan Komunikasi
·       Program pendidikan dan pelatihan
·       Partisipasi dan Keterlibatan.
·       Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan.
Program fit and proper test merupakan salah satu upaya mewujudkan budaya good corporate governance. Mekanisme seleksi yang ketat dilakukan untuk memuculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut (people fit culture).
PENUTUP
Kesimpulan
            Industri perbankan merupakan sektor yang paling terpukul dengan krisis makro ekonomi dan moneter tahun 1997. Hal tersebut juga disebabkan oleh lemahnya fundamental pengelolaan perbankan nasional yang banyak mengabaikan prinsip-prinsip ‘prudential banking’. Hal tersebut terkait dengan perilaku para bankir dalam mengelola bank.
            Sejak krisis ekonomi, moneter dan era reformasi, isu mengenai good corporate governance menjadi marak diperbincangkan. Pembenahan sektor perbankan menjadi agenda penting perbaikan ekonomi nasional secara makro. Dalam pembahasan di atas  telah dijelaskan perubahan paradigma penting dalam mekanisme pengawasan yang menunjukkan bahwa pemerintah mulai memperhatikan pentingnya mekanisme governing untuk mendorong iklim good corporate governance pada industri perbankan.
            Mekanisme governing yang kuat akan mendorong iklim good corporate governance menuju efisiensi dan peningkatan kinerja ekonomi secara nasional. Sebaliknya lemahnya mekanisme governing mendorong terjadinya moral hazard yang akan merusak perekonomian baik secara mikro dan makro.

DAFTAR RUJUKAN

Economics Focus Behaviorists At The Gates. 2003. The Economist. May 10th 2003. Hal. 66.
Emil Salim. 2001. Membangun Good Corporate Governance. The Indonesian Institute for Corporate Governance.
Hamel, Gary and  C.K Prahaland. 1994.  Competing  for The  Future,  Boston,  MA:  Harvard  Business School  Press.
Kurnianto, Heru. 2002. Restrukturisasi Dalam Perspektif Organisasi. Jurnal      Manajemen & Bisnis Utilitas. Hal. 41-51.
Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill.
Mankiw, 2000. Macro Economics. 4th edition. Worth Publishers. USA.
Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press.
Munzir, Erman. 1996. Makalah Ekonomi Moneter. Yogyakarta: FE UGM.
Nur Lies Diana. 1999. Resume Seminar On Banking Supervision. Bank BNI Jakarta. Tidak diterbitkan.
Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.
Riyanto L.S, Bambang. 2003. Penerapan Good Corporate Governance Sektor Keuangan Di Indonesia. Forum Diskusi Ekonomi Putaran 1 tahun 2003 Bank Indonesia-UGM.
Swandari, Fifi. 2002. Pengaruh Perilaku Resiko. Kepemilikan Institusi dan Kinerja Terhadap Kebangkrutan Bank Umum di Indonesia. Proceeding Simposium Nasional Keuangan in Memoriam Prof. Bambang Riyanto. Dies Natalis ke –47 FE UGM. Hal. 118.
Tearney. 2003. Enron & Andersen: What Went Wrong? Kuliah Umum Program Doktor dan Msi.
Tim Bank BNI. 1996. Melangkah Ke Masa Depan Dengan Kearifan Masa Lalu.


Jumat, 06 Juni 2014

PENDAPATAN NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  LATAR BELAKANG
pendapatan nasional merupakan tolak ukur berhasil atau tidaknya suatu Negara meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Pendapatan nasional adalah proses kenaikan kapasitas mendapatkan upah, laba atau gaji dari suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan Suatu Negara tersebut. Mengingat konsep pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur penilaian Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan ekonomi nasional sudah terlanjur diyakini serta diterapkan secara luas, maka kita tidak boleh ketinggalan dan mau tidak mau juga harus berusaha mempelajari hakekat dan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tersebut.
Oleh karena itu mempelajari pendapatan nasional adalah hal yang sangat penting bagi kita semua, karena para ekonom dan politisi dari semua negara, baik negara-negara kaya maupun miskin, yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

1.2.  RUMUSAN MASALAH
1)      Pengertian Pendapatan Nasional
2)      Konsep-konsep Pendapatan Nasional
3)      Penghitungan Pendapatan Nasional

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Pengertian Pendapatan Nasional
Pendapatan Nasional adalah  Salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk menilai kondisi perekonomian suatu negara. Tujuan dari perhitungan pendapatan nasional ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat ekonomi yang telah dicapai dan nilai output yang diproduksi, komposisi pembelanjaan agregat, sumbangan dari berbagai sektor perekonomian, serta tingkat kemakmuran yang dicapai (Sukirno, 2008, p55). Selain itu, data pendapatan nasional yang telah dicapai dapat digunakan untuk membuat prediksi tentang perekonomian negara tersebut pada masa yang akan datang. Prediksi ini dapat digunakan oleh pelaku bisnis untuk merencanakan kegiatan ekonominya di masa depan, juga untuk merumuskan perencanaan ekonomi untuk mewujudkan pembangunan negara di masa mendatang (Sukirno, 2008, p57).
Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara (Sukirno, 2008, p36). Pengertian berbeda dituliskan dengan huruf besar P dan N, dimana Pendapatan Nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor produksi yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu (Sukirno, 2008, p36). Terdapat beberapa cara yang digunakan dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu pendapatan nasional bruto dan pendapatan domestic bruto

2.2.       Konse-konsep Pendapatan Nasional
  Pengeluaran Konsumsi (C)
            Pengeluaran konsumsi atau private consumption expenditure meliputi semua pengeluaran rumah tangga dan perseorangan serta lembaga-lembaga swasta bukan perusahaan untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang langsung dapat  dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembelian barang-barang tahan lama yang baru. Pembelian atas barang-barang yang telah menjadi milik seorang konsumen tidak dapat di anggap sebagai pengeluaran konsumsi, sebab pengeluaran konsumen yang satu, yaitu konsumen pembeli, diimbangi oleh penerimaan konsumen penjual, sehingga nettonya sebesar nol. Bangunan rumah tinggal pada umumnya dikategorikan sebagai pengeluaran investasi.
Pengeluaran Investasi (l)
            Variable ekonomi ini meliputi semua pengeluaran domestic yang di lakukan oleh sector swasta untuk mendirikan bangunan-bangunan baru, mesin-mesin baru beserta perlengkapanya dan perubahan jumlah berbagai macam persediaan perusahaan.
Pengeluaran Pembelian Pemerintah (G)
            jelas bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah dimana pemerintah secara langsung memperoleh balas jasa atas pengeluaran tersebut, pengeluaran-pengeluaran pemerintah misalnya pembayaran pension, beasiswa, subsidi dalam berbagai bentuknya, dan berbagai macam bantuan financial yang di berikan kepada sector swasta tidak dapat di masukkan ke dalam kategori ini, melainkan harus di masukkan ke dalam kategori transfer pemerintah (Tr).
Expor Netto (X-M)
            Variabel ekonomi agregatif ini merupakan hasil pengurangan nilai total impor (M) terhadap nilai totak ekspor (X). apabila neraca perdagangan dalam keadaan pasif, yaitu nilai impor barang dan jasa lebih besar dari pada nilai ekspor barang dan jasa, maka nilai ekspor netto bertanda negative.
            Akhirnya, dapat pula diketengahkan di sini bahwa bagian kanan perkiraan pendapatan dan produk nasional,isinya dapat diungkapkan dalam bentuk kesamaan matematik yang dapat kitasebut sebagai kesamaan produk nasional atau national product identity:
            Y= C + I + G + (X – M)…………..(2.2.1)
 Penadapatan Nasional Atas Dasar Biaya Faktor Produksi
            Padagaris besarnya biasa di bedakan empat unsure pendapatan nasional, yaitu: upah dan gaji, sewa, bunga, dan laba.
Upah dan Gaji (w)
Upah dan gaji, merupakan pendapatan yang diperoleh rumah tangga keluarga sebagai imbalan terhadap penggunaan jasa sumbertenaga kerja yang mereka gunakan dalam pembentuk produk nasional. Pengertian gaji dan upah tersebut dipakai dalam artian luas, yaitunmeliputi juga didalamnya berbagai macam penerimaan karyawan dalam bentuk lainya, seperti misalnya tunjangan keluarga, tunjangan perumahan, tunjangan perawatan sakit, dan sebagainya. Oleh karena itulah mudah difahami bahwa sementara penulis menyarankan penggunaan istilah yang lebih luas cakupanya, yaitu istilah kompensasi untuk karyawan atau compensation of employees.
Sewa (r)
Pendapatan sewa atau rental income meliputi semua macam sewa atas pemakaian aktiva tetap oleh fihak lain atau oleh pemiliknya sendiri, kecuali kalau fihak penerimasewa atau pemakai-pemilik aktiva tetap tersebut merupakan perusahaan, yang sisa hasil usahanya sudah tergolong ke dalam kategori laba.
Bunga (i)
Variable ekonomi agregatif ini meliputi semua pembayaran bunga modal pinjaman yang dibayar oleh sector swasta, baik sector keluarga maupun sector perusahaan. Sedangkan bunga yang dibayar oleh pemerintah atas hutang pemerintah kepada masyarakat tidak tertmasuk pendapatan bunga melainkan kita kategorikan sebagai transfer pemerintah.
Laba (p)
            Dalam perkiraan pendapatan dan produk nasional, pada umumnya dibedakan :
(a)    Laba perseorangan atau proprietors’ income, yaitu laba yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan yang tidak terbentuk badan hukum, dan
(b)   Laba perseroan atau corporate profit, yaitu laba yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan yang terbentuk badan hukum.
Akhirnya uraian dalam sub-sub ini dapat disarikan dalam bentuk kesamaaan pendapatan nasional atas dasar biaya faktor produksi sebagai berikut :
     Y at factor =  Yw + Yr + Yi + Yp ………………(2.3.1)


2.3.  Penghitungan Pendapatan Nasional
. Metode Produksi
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh nilai barang dan
jasa yang dihasilkan oleh seluruh sector ekonomi masyarakat dalam
periode tertentu
Y = [(Q1 x P1) + (Q2 x P2) + …(Qn x Pn)]
b. Metode Pendapatan
Pendapatan nasional merupakan hasil penjumlahan dari seluruh
penerimaan rent (sewa), wage (upah/gaji), interest (bunga), profit (laba) yang diterima oleh pemilik factor
produksi adalam suatu negara selama satu periode.
Y=r + w + i +p
c. Metode Pengeluaran
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh pengeluaran
yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga ekonomi (RTK,RTP,RTG,RT
Luar Negeri) dalam suatu Negara selama satu tahun.
Y = C + I + G + (X – M)





















BAB II

PENUTUP

KESIMPULAN

Pendapatan nasional adalah jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh penduduk dalam suatu negara selama satu tahun. Faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional Indonesia adalahPermintaan dan penawaran agregat, Konsumsi dan tabungan, Investasi. Produk Nasional Bruto (PNB)/Gross National Product (GNP) adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. dirumuskan sebagai berikut : PNB = PDB + Pendapatan Neto dari luar negeri (Net Factor Income from Abrood).
Net National Product atas dasar harga pasar adalah GNP dikurangi depresiasi/penyusutan atas barang modal dalam proses produksi selama satu tahun.Rumusnya adalah : NNP = GNP – Depresiasi. Net National Income (NNI) adalah NNP dikurangi pajak tidak langsung yang dipungut pemerintah, atau jika kita menghitung dari GNP dapat kita rumuskan: NNI = GNP - Depresiasi - Pajak tidak langsung. Personal Income adalah pendapatan yang diterima oleh setiap lapisan masyarakat dalam satu tahun. Rumus PI adalah : PI = NNI - (Laba ditahan + pajak perseorangan + iuran jaminan sosial + transfer payment).
Disposible Income adalah Personal Income setelah dikurangi pajak langsung (misalnya pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor dan sebagainya). Rumus DI adalah :  DI = PI - Pajak Langsun. Pendapatan per kapita Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, ternyata masih termasuk rendah.
Secara umum pada tahun 1998 pertumbuhan PNB Riil Per Kapita di dunia mengalami penurunan sebagaimana halnya Indonesia kecuali negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Jerman, Kanada dan Perancis. Hal ini terjadi, karena di dunia yang arus globalisasinya semakin gencar, kejadian atau masalah yang terjadi di suatu negara atau kawasan tertentu akan berdampak pula pada negara lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Eko, Yuli. 2009. Ekonomi  1 : Untuk SMA dan MA Kelas  X. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
www.google.com
Mulyati, sri Nur dan Mahfudz, Agus dan Permana, Leni. 2009. Ekonomi 1 : Untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Kelas X. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
Roshidi  Suherman. Pengantar Teori Ekonomi.surabaya: Raja Wali Pers, 2009.